Langsungsaja dicek beberapa kata bijak Imam Al-Ghazali: "Barang siapa yang menghabiskan waktu berjam-jam lamanya untuk mengumpulkan harta karena takut miskin, maka dialah sebenarnya orang yang miskin." "Ciri yang membedakan manusia dan hewan adalah ilmu. Manusia adalah manusia mulia yang mana ia menjadi mulia karena ilmu, tanpa ilmu mustahil Hasilpenelitian ini adalah Imam Al-Ghazali membatasi keuntungan dalam jual beli yaitu sebesar 5 – 10 % dari harga beli. Adapun yang menjadi alasan Imam Al- Ghazali secara kritis dalam menetapkan batasan keuntungan tersebut adalah untuk menjauhkan manusia dari sifat serakah yang akan membuat manusia lupa akan tujuan dari kehidupan di dunia. Semogaberguna. 1. Ontologi Ilmu al-Ghazali. a. Konsep tentang ilmu. Menurut al-Ghazali, pemahaman terhadap konsep tentang ilmu secara syar'i berarti pengetahuan yang diperoleh seseorang dari Allah dan sudah menyatu dalam kepribadiannya yang menunjukkan kedekatannya dengan agama. Padadasarnya, ekonomi islam adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara--cara islami. Pemikiran Ekonomi Islam dalam pandangan Al-Ghazali (451-505H/1055-1111M), kegiatan ekonomi merupakan amal kebajikan untuk mancapai maslahah untuk memperkuat sifat kebijaksanaan, kesederhanaan, dan Dengandemikian dalam perspektif Imam Ghazali bahwa orang yang tawakal itu harus memiliki ilmunya. Relevansi konsep tawakal Imam al-Ghazali dengan kesehatan mental yaitu menurut Imam al-Ghazali untuk tawakal yang benar yaitu harus memasuki sebuah pintu yaitu pintu iman dan lebih khusus lagi tauhid. Dalam hal ini Al-Ghazali mengaitkan tawakal . Kultum Dzuhur disampaikan oleh Ustadz 4 empat Golongan Manusia Menurut Imam Al-GhazaliImam Al Ghazali membagi manusia menjadi empat 4 golongan;Pertama, Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri Seseorang yang Tahu berilmu, dan dia Tahu kalau dirinya Tahu.Orang ini bisa disebut alim = mengetahui. Kepada orang ini yang harus kita lakukan adalah mengikutinya. Apalagi kalau kita masih termasuk dalam golongan orang yang awam, yang masih butuh banyak diajari, maka sudah seharusnya kita mencari orang yang seperti ini, duduk bersama dengannya akan menjadi pengobat Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri Seseorang yang Tahu berilmu, tapi dia Tidak Tahu kalau dirinya Tahu.Untuk model ini, bolehlah kita sebut dia seumpama orang yang tengah tertidur. Sikap kita kepadanya membangunkan dia. Manusia yang memiliki ilmu dan kecakapan, tapi dia tidak pernah menyadari kalau dirinya memiliki ilmu dan kecakapan. Manusia jenis ini sering kita jumpai di sekeliling kita. Terkadang kita menemukan orang yang sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa, tapi ia tidak tahu kalau memiliki potensi. Karena keberadaan dia seakan gak berguna, selama dia belum bangun manusia ini sukses di dunia tapi rugi di Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri Seseorang yang tidak tahu tidak atau belum berilmu, tapi dia tahu alias sadar diri kalau dia tidak tahu.Menurut Imam Ghazali, jenis manusia ini masih tergolong baik. Sebab, ini jenis manusia yang bisa menyadari kekurangannnya. Ia bisa mengintropeksi dirinya dan bisa menempatkan dirinya di tempat yang sepantasnya. Karena dia tahu dirinya tidak berilmu, maka dia belajar itu, sangat diharapkan suatu saat dia bisa berilmu dan tahu kalau dirinya berilmu. Manusia seperti ini sengsara di dunia tapi bahagia di Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri Seseorang yang Tidak Tahu tidak berilmu, dan dia Tidak Tahu kalau dirinya Tidak Tahu.Menurut Imam Ghazali, inilah adalah jenis manusia yang paling buruk. Ini jenis manusia yang selalu merasa mengerti, selalu merasa tahu, selalu merasa memiliki ilmu, padahal ia tidak tahu manusia jenis seperti ini susah disadarkan, kalau diingatkan ia akan membantah sebab ia merasa tahu atau merasa lebih tahu. Jenis manusia seperti ini, paling susah dicari kebaikannya. Manusia seperti ini dinilai tidak sukses di dunia, juga merugi di golongan ke empat ini disebut juga sebagai manusia jahil, apa itu jahil ?Secara bahasa, al-jahlu merupakan bentuk mashdar dari kata kerja jahila-yajhalu-jahlan, artinya lawan kata dari ilmu atau melakukan sesuatu tanpa ilmu tidak memiliki ilmu tentang kebenaran. Maka do’a yang disunnahkanpun tidak memakai kalimat Jahlu, tapi memakai kata Innasiina jika lupa bukan jika tidak tahu seperti contoh berikut رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَاYa Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalahJahil suatu posisi tidak di sukai oleh Allah SWT, sebagaimana masyarakat jahiliyah yang melarang kaum mendengarkan Al Qur’an dengan sungguh-sungguh karena kwartir terpengaruh dan masuk pada agama Islam karena mereka menganggap karya mereka lebih baik sangat baik, sedangkan Nabi Muhammad SAW tidak pernah mendapat SAW diberikan pendidikan dari yang Maha di tempat terpencil dan Ilmu yang Murni serta perbuatan yang dilakukan masyarakat jahiliyah diantaranya A. Menyembah berhala sebagai wasilah, menyembah malaikat sebagai anak Tuhan, bahkan menganggap Allah SWT bersekutu dengan Jin, bahkan orang yang dianggap Sholih pun disempah sebagai wasilah ini adalah perbuatan masyarakat jahiliyah yang jika masih ada di lingkungan kita, wajib kita luruskannya untuk kembali Meminum Khomr dan Mabuk-mabukan, Kata Khamar berasal dari bahasa arab, al-khamru, yang artinya satrusy syai’/penutup sesuatu, sesuatu yang bersifat menutup dan menghalangi. Anggur di permentasi dan ditutup serta disimpan sampai berubah menjadi minuman beralkohol, sehingga orang yang meminum mabuk, tertutup akal sehatnya tidak dapat membedakan baik maupun Melakukan perjudian Maisir,Kata Maisir dalam bahasa Arab arti secara harfiah adalah memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Yang biasa juga disebut Melakukan perzinahan, dalam perzinaan pernikahan ala masyarakat jahiliyah memiliki bermacam-macam cara diantaranya terdapat 4 Bentuk Perkawinan pada Zaman Jahiliyah Selain mengokohkan bangunan tauhid, Islam juga hadir menyempurnakan ajaran-ajaran umat sebelumnya sekaligus menghapus tradisi-tradisi buruk mereka. Salah satunya adalah tradisi buruk dalam pernikahan masyarakat jahiliyah. Lantas seperti apakah tradisi dan praktik pernikahan di zaman jelang Nabi diutus itu? Dalam al-Hawi al-Kabir, al-Mawardi menuturkan, ada empat bentuk pernikahan pada zaman jahiliyah, yakni 1 pernikahan al-wilâdah, 2 pernikahan al-istibdhâ, 3 pernikahan al-rahth, dan 4 pernikahan al-râyahKeempat bentuk pernikahan ini berdasarkan hadits Aisyah yang diriwayatkan al-Bukhari dalam Shahîh-nya. أَنَّ النِّكَاحَ فِي الجَاهِلِيَّةِ كَانَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَنْحَاءٍ فَنِكَاحٌ مِنْهَا نِكَاحُ النَّاسِ اليَوْمَ Artinya, “Sesungguhnya pernikahan pada zaman jahiliyah ada empat bentuk. Satu bentuk di antaranya adalah pernikahan seperti orang-orang sekarang,” HR al-Bukhari. Pertama, pernikahan al-wilâdah. Dalam pernikahan ini, seorang laki-laki atau seorang pemuda datang kepada orang tua sang gadis untuk melamarnya. Kemudian ia menikahinya disertai dengan pernikahan al-istibdhâ. Dalam pernikahan ini, seorang suami meminta istrinya pergi kepada laki-laki terpandang dan meminta dicampurinya. Setelah itu, si suami menjauhinya dan tidak menyentuhnya lagi hingga terlihat hamil oleh laki-laki tersebut. Hal itu dilakukan semata karena menginginkan keturunan yang bagus dan luhur. Ketiga, pernikahan al-rahth. Dalam pernikahan ini, sekelompok laki-laki—kurang dari sepuluh orang—bersama-sama menikahi satu orang perempuan dan mencampurinya. Setelah hamil dan melahirkan, si perempuan mengirim utusan kepada mereka. Tak ada satu pun di antara mereka yang menolak datang dan berkumpul. Di hadapan mereka, si perempuan mengatakan, “Kalian tahu apa yang terjadi di antara kalian denganku. Kini aku telah melahirkan. Dan ini adalah anakmu, hai fulan sambil menyebut namanya.” Si perempuan menasabkan anaknya kepada seorang laki-laki dan laki-laki itu tidak bisa pernikahan al-râyah. Dalam pernikahan ini, sejumlah laki-laki datang ke tempat para perempuan sundal. Sebagai tandanya, perempuan-perempuan itu menancapkan bendera al-râyah di depan pintu rumah mereka. Sehingga, siapa pun laki-laki yang melintas dan menginginkannya, tinggal masuk ke dalam rumah. Jika salah seorang perempuan itu hamil dan melahirkan, para laki-laki tadi akan dikumpulkan. Mereka akan membiarkan seorang qa’if, seorang yang pandai mengamati tanda-tanda anak dari turunan siapa. Setelah itu, sang qa’if akan menasabkan anak tersebut kepada seorang laki-laki yang juga disetujui si perempuan. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang bisa menolak anak bentuk-bentuk pernikahan pada zaman jahiliyah. Semoga menjadi pelajaran bagi kita semua sekaligus bisa menjauhi praktik-praktik pernikahan ala jahiliyah yang diharamkan syariatE. Perbuatan masyarakat jahiliyah juga wanita diwariskan bukan mendapatkan waris, bahwa janda dari orang yang meninggal itu dianggap sebagai warisan dan boleh berpindah tangan dari si ayah kepada Melakukan perbudakanG. Menjalankan praktik riba Riba merupakan penyakit ekonomi masyarakat yang telah dikenal lama dalam peradaban telah melarang memakan riba. Allah berfirman dalam QS An Nisaa ayat 160-161فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًاMaka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas memakan makanan yang baik-baik yang dahulunya dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah,وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًاdan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang di ayat lain dikatakan Allah SWT menghalalkan Jual beli dan mengharamkan riba. QS Al-Baqarah ayat 275الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَOrang-orang yang makan mengambil riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata berpendapat, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti dari mengambil riba, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu sebelum datang larangan; dan urusannya terserah kepada Allah. Orang yang kembali mengambil riba, maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di bentuk-bentuk perbuatan yang seburuk-buruknya pada zaman jahiliyah. Semoga menjadi pelajaran bagi kita semua sekaligus bisa menjauhi praktik-praktik ala jahiliyah yang diharamkan syariat Agama bermanfaatNashrun minallah wafathun QoriibWabasyiril Mu’mininWassalamu’alaikum warahmatullahi wa barokatuh Secara filosofis, memandang manusia berarti berpikir secara totalitas tentang diri manusia itu sendiri, struktur eksistensinya, hakikat atau esensinya, pengetahuan dan perbuatannya, tujuan hidupnya, dan segi-segi lain yang mendukung, sehingga tampak jelas wujud manusia yang sebenarnya. Jika kita 118A. Mudjab Mahali, Pembinaan Moral di mata Al-Ghazali, Yogyakarta BPFE. 1984 cet 1. pahami manusia sebagai makhluk historis, karena keberadaannya mempunyai sejarah, ia senantiasa berubah dari masa ke masa, baik pola pikir maupun pola hidupnya. Oleh karena itu, manusia dalam kurun waktu tertentu berbeda dengan manusia dalam kurun waktu yang lain. Dalam kaitannya dengan eksistensi manusia, perbedaan itu terletak hanya pada unsur dan sifatnya yang kasat mata, sedang hakikatnya adalah Al-Ghazali sebagai filosuf Muslim yang hidup di Abad pertengahan tidak terlepas dari kecendrungan umum zamannya dalam memandang manusia. Karya-karyanya baik dalam bidang filsafat maupun tasawuf, yang mengupas tentang manusia dapat dipahami bahwa esensi atau hakikat manusia adalah jiwanya, jiwa merupakan identitas tetap manusia. Jiwa manusia merupakan subtansi Immaterial yang berdiri sendiri, ia tidak terdiri dari unsur-unsur yang membentuknya, sehingga ia bersifat kekal dan tidak hancur. Imam Al-Ghazali membagi struktur kerohanian manusia menjadi empat unsur, yaitu qalb, ruh, nafs, dan akal. Keempat unsur tersebut masingmasing mempunyai dua arti. qalb hati Pengertian pertama adalah berupa fisik, yakni sebagai daging berbentuk sanubari yang ada disisi kiri dada, sementara pada sisi dalamnya ada lubang yang berisi darah yang merupakan sumber ruh yang kedua diartikan secara lebih halus, yaitu yang berkaitan dengan rabbaniyah ketuhanan, rohaniyah kerohanian. Hati dalam arti 119Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1998, h. 30 120Al-Ghazali, Raudhoh Taman Jiwa Kaum Sufi, terj. Mohammad Lukman Hakiem, Surabaya Risalah Gusti, 1997, h. 47 yang lebih halus inilah yang disebut hakikat manusia. Hati inilah yang mengenal manusia, yang diajak bicara, yang disiksa, yang dicela dan Kedua, kata ruh, yang juga mempunyai dua arti sekaligus, arti pertama adalah fisik yang lembut, dalam, mengandung darah hitam bersumber dari lubang kalbu jasmani. Melalui otot dan tulang darah tersebut mengalir keseluruh tubuh. Pancaran cahaya kehidupan, rasa, penglihatan, pendengaran dan bau yang muncul dari ruh tersebut, yang identik dengan pancaran cahaya lampu keseluruh ruangan rumah. Kehidupan dimisalkan sebagai cahaya yang menyinari seluruh dinding, dan ruh itu sendiri adalah lampu. Mengalirnya ruh dan geraknya dalam batin semisal geraknya lampu ke sisi-sisi rumah, yang digerakkan oleh penggeraknya. Para dokter misalnya, manakala mengucapkan kata ruh, dimaksudkan arti tersebut ialah kedalaman yang lembut yang dimatangkan oleh energi kalbu, sedangkan arti kedua adalah sebagai latifah alimah yang memahamkan pada diri manusia, sekaligus sebagai salah satu arti makna qalbu, makna inilah yang dikehendaki oleh Allah dalam firman-Nya “Dan mereka bertanya kepadamu Muhammad tentang ruh, katakanlah, ruh itu termasukurusan tuhanku”QS. Al-Isra’ 85 Ketiga, nafs. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, nafs nafsu dipahami sebagai dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik, padahal dalam Al qur’an nafs tidak selalu berkonotasi negatif. Al-Nafs menurut Imam Al-Ghazali mempunyai dua arti, pertama adalah kekuatan hawa marah dan syahwat yang dimiliki oleh manusia. Pengunaan kata nafs yang terbiasa dalam tradisi sufi adalah keseluruhan sifat-sifat manusia yang tercela, karena itulah mereka sering menegaskan kata-kata, “berperang melawan nafsu dan memecah syahwat adalah suatu keharusan. Apabila nafs menenggelamkan diri dalam kejahatan, mengikuti nafsu amarah, syahwat dan godaan syetan, maka dinamakan nafs al amarah. Bahkan dalam hal ini Imam Al-Ghazali mengatakan “jadikanlah sebuah kekalahan dalam jiwamu nafs. Maksudnya adalah himbauan agar memposisikan jiwa pada poros bawah, sehingga jiwa nafs tidak merajalela menerjang syari’at. Sedangkan nafs dalam pengertian yang kedua adalah merupakan hakikat diri dan dzat manusia,122 namun disifati dengan sifat-sifat yang berbeda-beda menurut perbedaan situasi dan kondisinya. Apabila nafs berada dalam kondisi tentram di bawah perintahnya dan menolak segala bentuk syahwat, maka disebut sebagai nafsul mutmainnah sebagai mana firman-Nya “Hai nafsu yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas yang di ridha’i-Nya”QS. Al- fajr27-28. Istilah keempat adalah al aql akal. Masyarakat pada umumnya mengartikan akal sebagai pusat segala kecakapan yang dimiliki manusia, karena akal dapat menjadi tolak ukur kecakapan manusia. Adapula yang mengartikan akal dengan otak. Imam Al-Ghazali juga membagi pengertian akal menjadi dua bagian. Pertama akal merupakan pengetahuan mengenai hakikat segala sesuatu, dalam hal ini akal diibaratkan sebagai sifat ilmu yang terletak dalam hati. Adapun pengertian yang kedua adalah akal rohani yang memperoleh ilmu pengetahuan itu sendiri al mudrik li al ulum yang tak lain adalah jiwa al qalb yang bersifat halus dan menjadi esensi manusia. Penggunaan keempat istilah diatas menunjukkan bahwa kajian Al Ghazali terhadap esensi manusia sangat mendalam, menyertai sepanjang perkembangan pemikirannya. Saat berbicara tentang filsafat, ia lebih sering menggunakan kata nafs dan akal, sedangkan ruh dan qalb lebih banyak dijumpai dalam kitab-kitabnya yang ditulis setelah menekuni tasawuf. Akan tetapi hal itu tidak mengubah pandangannya tentang esensi manusia. Ditampilkannya term-term itu kemungkinan besar didasari oleh keinginan untuk menggabungkan konsep-konsep filsafat, tasawuf dan syara’, sebab kata nafs dan akal sering digunakan para sufi. Sedang dalam al-Qur’an, kata ruh, nafs dan qalb digunakan untuk kesadaran manusia, lain, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa tabi’at manusia ada empat unsur yang menjelma dalam sifat yang dikenal dengan nama kebinatangan, kekasaran, kesetanan, dan kemalaikatan kesucian124. Oleh karena itu, tidak heran apabila dalam tabi’at seseorang muncul perbuatanperbuatan seperti babi, syetan dan alim. Dalam hal ini, bukan berarti setiap perbuatan manusia yang mencerminkan binatang disebabkan mutlak karena unsur yang ada didalamnya. Akan tetapi manusia dengan dikaruniai akal adalah untuk berfikir. Akal yang bersih bila dimiliki selalu bertujuan menolak hal hal yang buruk yang ada pada setan. 123Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan, Dari uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa menurut Al-Ghazali esensi manusia subtansi immaterial yang berdiri sendiri, bersifat ilahi berasal dari alam al amr, tidak bertempat didalam badan, bersifat sederhana, mempunyai kemampuan mengetahui dan menggerakkan badan, diciptakan, dan bersifat kekal pada dirinya. Ia berusaha menunjukkan bahwa keberadaan jiwa dan sifat-sifat dasarnya tidak dapat diperoleh melalui akal saja, tetapi dengan akal bersama syara’.125 Salah satu umat Islam yang memiliki ide-ide hebat dan dikenal sebagai pembaharu mujaddid, antara lain adalah Al-Gazali. Kondisi sosial budaya pada saat itu, yaitu munculnya ketidakstabilan politik yang berdampak pada fragmentasi umat Islam, penghancuran agama dan Situasi ini membuatnya menjadi pahlawan dan Pembela Islam Argumentator hujjah al-Islam sebagai tanggung jawabnya untuk memperbaiki pikiran buta dan tindakan yang mengguncang kehidupan Muslim. Di antara tujuan pendidikan yaitu sebagai media dalam membangun kedekatan pada Allah swt. Sehingga, kurikulum yang disajikan harus mencakup tiga istilah, yang disebut jasmaniyah, 'aqliyyah dan akhlaqiyyah. Pendapat ini didasarkan pada dua pendekatan, Fiqhdan Sufisme. Pemikiran ini tampak sistematis dan komprehensif, serta konsisten dengan sikap dan kepribadian sebagai Sufi dan Faqih. Konsep pendidikan yang ditawarkan, jika diterapkan di masa sekarang tampaknya masih sesuai. Disamping 125M. Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, JakatraRaja Grafindo Persada. 1996, 126Rosif,Dialektika Pendidikan Etika Dalam Islam Analisis Pemikiran Ibnu Maskawaih. Jurnal Pendidikan Agama Islam, III2, 393-417. itu, kebutuhan harus disempurnakan sesuai dengan pengetahuan lokal di mana pendidikan dilaksanakan. Sampai saat ini, pemikiran Islam yang dikemukakan oleh Al-Ghazali merupakan sekolah yang dominan dalam hal teori dan praktik Islam dan, khususnya, Islam Sunni. Dengan perawakan intelektualnya yang luar biasa dan pengetahuan ensiklopediknya, Al-Ghazali telah mempengaruhi pemikiran Islam dan mendefinisikan praktiknya selama hampir sembilan abad. Dia adalah perwakilan dari 'perdamaian Islam'. Selama tiga dekade terakhir, arus baru 'Islam agresif' telah muncul dan berkembang pesat, dan berusaha untuk menguasai dunia Islam. Beberapa pengamat melihat tren ini sebagai gerakan kebangkitan baru, sementara yang lain menganggapnya sebagai ancaman tidak hanya bagi negara-negara Islam, tetapi ke seluruh dunia, dan sumber destabilisasi, membawa Islam dan Muslim kembali empat belas abad. Gerakan baru ini mengambil landasan intelektualnya dari ajaran Abu-l-A'la al-Maududi, Sayyid Qutb dan Ruhollah Khomeini, serta pengikut garis keras mereka yang aktif di sejumlah negara. Ia mengadvokasi proklamasi masyarakat sebagai tidak senonoh, penghapusan paksa rezim-rezim yang ada, perebutan kekuasaan dan perubahan radikal dalam gaya hidup sosial; itu agresif dalam penolakannya terhadap peradaban modern. Para pakar tren ini berpendapat bahwa Islam, yang dianut dan dipraktekkan selama berabadabad, memberikan solusi untuk semua masalah politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan yang dihadapi dunia Arab dan Islam, dan memang seluruh planet. Perjuangan antara pemikiran al-Ghazali dan al-Maududi masih berjalan dan mungkin menjadi salah satu faktor terpenting dalam membentuk masa depan dunia Arab dan Islam. Apa pun hasil pergulatan ini, al-Ghazali tetap menjadi salah satu filsuf paling berpengaruh meskipun ia keberatan untuk digambarkan seperti itu dan pemikir tentang pendidikan dalam sejarah Islam. Biografi-Nya sebagai seorang siswa dalam pencarian pengetahuan, sebagai seorang guru yang menyebarkan pengetahuan dan sebagai seorang sarjana yang mengeksplorasi pengetahuan memberikan ilustrasi yang baik tentang cara hidup siswa, guru, dan sarjana di dunia Islam pada Abad Pertengahan 19. Al-Ghazali menyamakan pendidikan moral dengan habituasi. Kausalitas memegang tempat yang menonjol dalam landasan filosofis dari teorinya tentang pendidikan moral. Meskipun Al-Ghazali merekomendasikan pendidik untuk menggunakan habituasi untuk mengembangkan kebajikan, ia akhirnya menyatakan bahwa tidak ada hubungan kausal tertentu antara pendidikan moral dan pembiasaan dan orang harus berharap untuk bantuan Tuhan dan menyampaikan Rahmat-Nya. Al-Ghazali melihat jika anak berupaya menerima ajaran dan pembiasaan hidup yang baik, maka ia menjadi baik, begitu pula sebaliknya. Konsep yang ditawarkan oleh Al-Ghazali yaitu a. Tujuan Pendidikan. Dalam pandangan Al-Ghazali tujuan pendidikan sebagai media untuk lebih membangun kedekatan dengan Allah SWT. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kedengkian, kebencian dan permusuhan. Rumusan ini akan membangun sikap zuhud dan adanya sifat qana’ah. b. Pendidik. Konsep Al-Ghazali terhadap kriteria seorang pendidik. Antara lain 1 Guru memiliki kewajiban untuk mencintai muridnya seperti anaknya. 2 Guru diharapkan memiliki keikhlasan dalam mengajar dengan tidak mengharapkan imbalan dari pekerjaannya sebagai guru. Imbalan yang diperolehnya berupa pengemalan ilmu pengetahuan yang diperolehnya oleh anak didik. 3 Guru memiliki kewajiban untuk memberikan motivasi supaya mencari ilmu yang memiliki manfaat baik dunia maupun akhirat. 4 Dalam melakukan proses pengajaran guru harus mampu menyesuaikan kemapuan integensi yang dimiliki oleh anak didik. 5 Guru memiliki kewajiban dalam memberi contoh etika dan keteladanan dalam bersikap seperti berjiwa halus, sopan, lapang dada, murah hati dan berakhlaq mulia. 6 Guru harus menanamkan hakikat keimanan pada anak didiknya, sehingga akal fikirannya diwarnai dengan nilai-nilai keimanan. Dalam pandangan al-Ghazali, hakikat manusia memiliki tiga kekuatan, diantaranya pengetahuan, emosi dan ambisi. Dan diantara tiga kekuatan itu yang menjadi utama adalah kekuatan pengetahuan. Konsep akhlak yang di bangun oleh Al-Ghazali adalah adalah doktrin jalan tengah sebagai dasar keutamaan akhlak diataranya arif, penahanan nafsu, berani, dan adil, serta yang menjadi ukurannya adalah akal dan syariat. Pendidikan Akhlak mulia memiliki tujuan terbentuknya manusia yang memiliki kezuhudan duniawai dan memiliki cinta pada Allah SWT, serta memiliki kemampuan dalam mengendalikan emosi dengan tunduk pada akal dan syariat. Materi pendidikan akhlak yang ditawarkan adalah bentuk-bentuk akhlak terpuji dalam pandangan syariat sedangkan metodenya yaitu bentuk anugerah Ilahi dan kesempurnaan fitri, pembiasaan, mujahadah, serta riyaah. Dengan demikian al-Ghazali menempatkan orang tua sebagai pendidik awal dalam membentuk akhlak anak. Sebab setiap anak yang dilahirkan masih suci dari segala jenis dosa dan kesalahan. Bagi al-Ghazali orang tua memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah yang baik bagi anak karena pasti memiliki pengaruh dalam proses pembentukan akhlaknya. Al-Ghazali membagi sistem pendidikan akhlak menjadi dua yaitu sistem pendidikan formal dan pendidikan non formal. Sistem pendidikan non formal diawali dalam pendidikan lingkungan keluarga dan faktor makanan dan minuman yang yang di konsumsinya. Pendidikan keluarga dalam pandangan al-Ghazali memegang peran yang sangat penting dalam menyiapkan pribadi anak yang memiliki moralitas yang baik. Orang tua memiliki kewajiban untuk memperhatikan perkembangan fisik dan psikis anak, dimulai dari pada saat anak sudah bisa membedakan sesuatu tamyiz sampai pada tingkat pergaulan lingkungan sosial anak. Sistem pendidikan keluarga yang dibangun oleh al-Ghazali tidak lepas dari keteladanan orang tua dalam memberikan pembiasaan reward dan punisment. Anak membutuhkan pujian atau reward manakala memberikan prestasi perkembangan akademik maupun perilakunya misalnya kemampuan menghafal Al quran dan hadits begitu pula sebaliknya anak akan memperoleh punisment atau hukuman ketika ada kesepakatan orang tua dan anak yang tidak ditaati. Di samping pola asuh yang menjadi esensi dari pemikiran al-Ghazali terhadap pembentukan kepribadian anak, faktor lain yang menjadi penentu adalah makanan dan minuman yang diberikan orang tua pada anak. Faktor makanan dan minuman memiliki pengaruh terhadap perkembangan psikis anak. Pada aspek Pendidikan formal yang tawarkan oleh al-Ghazali dalam pembentukan kepribadian anak terletak pada kompetensi guru atau mursyid. Guru diangap memiliki peran yang cukup signifikan dalam membangun keilmuan yang diberikan pada muridnya. Dalam Hal ini al-Ghazali memberikan beberapa syarat bagi seorang guru atau mursyid sebelum memberikan pengajaran pada muridnya antara lain guru wajib menjadi suri tauladan yang baik sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah. Guru diharapkan tidak menerima imbalan apapun terhadap apa yang diajarkan dan memiliki tanggung jawab terhadap keilmuan yang diajarkan pada muridnya. Selanjutnya murid memiliki kewajiban untuk lebih menjaga kebersihan hati, tidak memiliki kesombongan dari ilmu yang diperolehnya. Konsep pemikiran Al-Ghazali diatas sungguhnya memiliki tujuan supaya lebih diniatkan untuk menjaga kedekatan dengan Allah tidak untuk mengharapkan kepemimpinan, harta dan pangkat. Penjelasan empat golongan manusia menurut imam ghazali sumber istimewa - Di kalangan suni, khususnya di Indonesia, Imam al Ghazali merupakan ulama yang masyhur. Imam al-Ghazali terkenal berkat keluasaan ilmunya dalam segala bidang, mulai dari tasawuf, fikih, teologi hingga filsafat. Pemikiran Imam al-Ghazali menjadi rujukan serta pijakan dalam bidang tasawuf. Hal itu terbukti dari banyaknya karya Imam al-Ghazali yang dikaji di berbagai pesantren di Indonesia. Masterpeace Imam Ghazali, Ihya Ulumudin menjadi daya tarik tersendiri di kalangan pesantren, bahkan perguruan tinggi untuk mengkaji dan menelitinya. Di masa dinasti Abasiyah dan Saljuk, Imam al-Ghazali sangat dihormati dan disegani banyak orang. Sampai pada waktu itu, Imam al-Ghazali mendapat gelar Hujjatul Islam. Gelar ini disematkan kepada beliau karena kemampuan daya ingat yang kuat dan bijak dalam berhujjah. Baca Ini 3 Golongan Saat Bertanya, Tidak Perlu Ditanggapi Dalam pandangan Imam al-Ghazali, manusia terbagi menjadi empat golongan Pertama, Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri Seseorang yang Tahu berilmu, dan dia Tahu kalau dirinya Tahu. Menurut al-Ghazali, kelompok pertama adalah orang-orang yang alim = mengetahui. Bagi orang awam, yang masih butuh bimbingan, sudah seharusnya mengikuti laku lampahnya orang alim tersebut. Sebab, duduk bersamanya akan menjadi pengobat hati sekaligus menambah wawasan. Orang yang termasuk golongan ini, senantiasa akan mengamalkan ilmunya semaksimal mungkin. Ia tahu kalau dirinya memiliki keluasan ilmu, sehingga harus mengajarkan serta mengamalkan ilmunya. "Manusia jenis ini adalah manusia unggul. Manusia yang sukses dunia dan akhirat." Kedua, Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri Seseorang yang Tahu berilmu, tapi dia Tidak Tahu kalau dirinya Tahu. Orang yang kedua ini berbeda dengan orang yang tergolong kelompok pertama. Kalau orang pertama, kita harus mengikutinya. Namun kepada orang kedua ini, kita mengingatkannya. Ia memiliki ilmu dan kecakapan, tapi dia tidak pernah menyadari kalau dirinya memiliki ilmu dan kecakapan. Orang seperti ini acapkali dijumpai di tengah-tengah kita. Ia sejatinya mempunyai segudang potensi yang luar biasa. Akan tetapi, orang tersebut tidak tahu akan potensi yang ada pada dirinya. Sehingga selama dia belum bangun dan sadar diri, orang ini hanya sukses di dunia tapi rugi di akhirat. Baca Idul Fitri, Halal Bi Halal dan Pemersatu Bangsa Ketiga, Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri Seseorang yang tidak tahu, tapi dia tahu bahwa dirinya tidak tahu. Orang yang masuk kategori kelompok ketiga ini, menurut Imam al-Ghazali, masih tergolong manusia yang baik. Sebab, ia meenyadari kekurangan yang ada pada dirinya. Sehingga, ia mampu menempatkan dirinya di tempat yang sepatutnya. Orang jenis ini akan senantiasa intropeksi diri dan mau belajar dari sebuah kesalahan. Dengan belajar, ia berharap suatu saat nanti bisa berilmu dan mampu menjadi lebih baik lagi. Orang seperti ini sengsara di dunia tapi bahagia di akhirat. Keempat, Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri Seseorang yang Tidak Tahu tidak berilmu, dan dia Tidak Tahu kalau dirinya Tidak Tahu. Dalam pandangan Imam al-Ghazali, kelompok terakhir ini merupakan orang-orang yang paling buruk. Ia selalu merasa dirinya mengerti, tahu dan mempunyai ilmu. Padahal, ia tidak tahu apapun. Ibarat pepatah lama, tong kosong nyaring bunyinya. Baca Halal Bi Halal, Titik Temu Tradisi dan Ajaran Agama Tipologi orang seperti ini biasanya susah untuk disadarkan. Ia merasa benar dengan apa yang dikerjakannya dan akan membantah kalau diingatkan perihal kesalahan yang dilakukanya. Berusan dengan orang yang seperti demikian akan terasa merepotkan dan susah. Sebab, ia merasa dirinya paling benar. Menurut Imam al-Ghazali, orang tersebut termasuk orang yang tidak sukses di dunia, juga merugi di akhirat. Untuk itu, mari kita senaniasa bermuhasabah atau intropeksi diri masing-masing agar menjadi pribadi yang lebih baik. [ Karakter atau watak adalah sifat batin yang memengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki manusia atau makhluk hidup lainnya. Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu. Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran lagi karena sudah tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain, keduanya dapat disebut dengan kebiasaan. Dilihat dari karaktaristiknya, menurut Imam al-Ghazali Ihya Ulum al-Din, III/119, manusia memiliki empat macam karakter, yaitu 1. Al-Rubu’iyah, yaitu sifat “ketuhanan” yang terdapat pada diri manusia yang apabila telah menguasai diri manusia maka ia ingin menguasai, menduduki jabatan yang tinggi, menguasai ilmu apa saja, suka memaksa orang lain dan tak mau direndahkan, maunya hanya dipuji. Orang yang memiliki tabiat ini adalah orang yang cenderung memelihara segala perbuatan menuju keridhoan Allah. Ia melahirkan sifat belas kasih, ikhlas, kasih sayang, suka membela yang lemah, suka menyantuni dan segala sifat terpuji lainnya yang cenderung mendekat pada keridhoan Allah. 2. Al-Syaithaniyah, yaitu sifat “kesetanan” yang ada pada diri manusia yang apabila telah menguasai dirinya ia akan suka merekayasa dengan tipu daya dan meraih segala sesuatu dengan cara-cara yang jahat. Di sini mansia suka mengajak pada perbuatan bid’ah, kemunafikan dan berbagai kesesatan lainnya. Orang yang memiliki tabiat ini adalah orang yang gemar berusaha memperdayakan manusia. Ia suka mempengaruhi orang lain agar terperosok ke jurang kenistaan. Hampir segala waktu dikuasai tabiat ini untuk menyeret manusia menuju keburukan. Karena kebaikan yang dilakukan manusia berarti menyakiti dirinya, maka selalu diupayakan agar manusia terjauhkan daripadanya. 3. Al-Bahimiyah, yaitu sifat manusia berupa “kehewanan” yang apabila telah menguasai dirinya ia akan rakus, tamak, suka mencuri, makan berlebihan, tidur berlebihan dan bersetubuh berlebihan, suk berzina, berprilaku homoseks dan lain sebagainya. Orang-orang yang memilki tabiat ini lebih mengedepankan nafsu syahwatnya, demi kesenangannya. Akal sehat yang harus dimiliki sudah dikuasai oleh nafsu syahwatnya. 4. Al-Sabu’iyah, yaitu sifat “kebuasan” yang apabila menguasai diri manusia ia akan suka bermusuhan, berkelahi, suka marah, suka menyerang, suka memaki, suka berdemo, anarkis, cemburu berlebihan dan lain sebagainya. Orang yang memiliki tabiat seperti ini adalah orang yang maunya menang sendiri, enak sendiri, mulia sendiri, terpuji sendiri. Ia tidak suka ada yang menyaingi. Karena itu kebaikan apa saja yang hendak sampai ke orang lain, dicegah menurut kemampuannya. Tabiat ini sangat erat dengan kedengkian, iri, hasud dan cemburu, manakala orang lain memperoleh nikmat. Singkatnya segala kesenangan menjadi miliknya, segala kesusahan menjadi milik orang lain. Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang empat karakter yang dimilki oleh manusia. Mudah-mudahan kita dijauhkan dari karakter-karakter buruk dan jahat. Aamiin. Abstrak Studi ini berusaha menggali dan memahami informasi secara mendalam tentang substansi pemikiran al-Ghazāli dan Sigmund Freud, sehingga dapat ditemukan interkoneksi dasar pemikiran konseptual keduanya tentang potensi manusia. Untuk memperoleh informasi yang tetap dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka studi ini menggunakan pendekatan normatif dan psikologis dengan menggali informasi gagasan kedua tokoh tentang potensi manusia melalui sumber-sumber teks yaitu karya-karya besar kedua tokoh dan literatur-literatur bersinggungan dengan pemikiran keduanya. Studi ini memperoleh kesimpulan bahwa Potensi manusia menurut al-Ghazāli menggunakan empat istilah qalb, ruh, nafs, dan 'aql dan Freud menggukan tiga istilah, id, ego, dan superego. Banyak perbedaan yang ditemukan dari konsep yang dibangun oleh al-Ghazāli dan Freud, Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran kedua tokoh sama-sama dipengaruhi oleh filsafat dan dalam hal hakikat manusia dan perkembangan perilakunya, keduanya mengakui adanya substansi immateri pada manusia dan potensi tersebut dapat dipengaruhi oleh lingkungan Kata Kunci interkoneksi, al-Ghazāli, Sigmund Freud, manusia. Abstract This study seeks to explore and understand the information in depth about the substance of thought of al-Ghazāli and Sigmund Freud, so that interconnection can be found the basis of both conceptual thinking about human potential. To obtain information that remains and can be accounted for scientifically, this study used a normative and psychological approach by digging the information the ideas of both figures about human potential through the sources of the text of the works of both figures and literature tangent to the thoughts of both. The study concluded that The human potential according to al-Ghazāli uses four terms qalb, ruh, nafs, and 'aql and Freud uses three terms, id, ego, and superego. Many differences are found from the concepts constructed by al-Ghazāli and Freud. However, it is undeniable that the thinking of both figures is equally influenced by philosophy and in terms of human nature and the development of its behavior both recognize the existence of an immaterial substance in humans and that potential can Influenced by the environment. A. Pendahuluan Manusia adalah makhluk yang di dalam tubuhnya terdapat potensi untuk mencintai, merindu dan merasa, diberi akal untuk berpikir dan bereaksi serta KONTEKSTUALITA

4 sifat manusia menurut imam ghazali